SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – 36 jurnalis dari Jawa Timur mengikuti pelatihan pra Uji Kompetensi Wartawan (UKW) yang dilaksanakan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) pusat, Sabtu (25/5/2024). Pelatihan digelar secara online dengan menghadirkan tiga narasumber dari Lembaga UKW (LUKW) PWI pusat.
Mereka adalah Suprapto (komisi Pendidikan LUKW), Firdaus Komar (Direktur LUKW), dan Djunaedi Tjunti Agus (bidang kompetensi LUKW). Masing-masing memberikan materi sekitar dua jam yang dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.
Pada materi pertama yang disampaikan Suprapto, ia memberikan penjabaran panjang lebar tentang Kode Etik Jurnalistik (KEJ), Pedoman Pemberitaan Ramah Anak (PPRA) dan Undang-undang Pers nomor 40 tahun 1999. Suprapto menegaskan setiap jurnalis dituntut dan harus memahami KEJ, PPRA dan UU Pers.
“Karena jurnalis bekerja untuk menghasilkan karya jurnalistik. Karya ini berbeda dengan media sosial sebab ada kode etik yang harus ditaati jurnalis,” ujarnya.
Ia menerangkan prinsip kerja jurnalistik ada tiga, yakni verifikasi, klarifikasi, konfirmasi. Jurnalis atau wartawan harus melakukan tiga hal tersebut sebelum mengolah informasi menjadi berita.
“Kita memiliki dan menaati kode etik. Itu yang membedakan kita (perusahaan pers) dengan media sosial,” terangnya.
Suprapto juga menerangkan panjang lebar tentang bagaimana melindungi anak dalam konsep pemberitaan. Bahwa identitas anak harus dirahasiakan. Bahkan informasi apapun yang mengarah pada identitas anak, baik sebagai korban atau pelaku kejahatan, tetap tidak boleh disebutkan.
Sedangkan di materi kedua, Firdaus Komar menyebutkan bahwa jurnalis harus memiliki perencanaan matang sebelum liputan. Hal ini agar jurnalis lebih terarah mencari, mengolah hingga mempublikasi berita.
“Tekankan 5W+1H. Utamakan data penting dulu dengan piramida terbalik,” ujar dia.
Pada materinya, ia juga membahas tentang perencanaan liputan investigasi. Suprapto mengatakan Langkah awal yang harus dilakukan adalah menentukan topik berita.
“Pada penentuan topik berita ini disertai alasan atau argumentasi, pemilihan sudut pandang, nama narasumber, dasar pemilihan narasumber, daftar pertanyaan dan estimasi biaya,” jelasnya.
Sementara itu, Djunaedi Tjunti Agus memberikan materi tentang berita features dan tajuk. Untuk features, jurnalis tidak harus berbasis piramida terbalik, namun tetap harus memuat 5W+1H. Features ini lebih bersifat bertutur dan membuat pembaca seolah-olah melihat langsung dan merasakan apa yang dibacanya.
“Sedangkan kalua tajuk adalah tulisan yang mewakili media massa. Tapi yang disampaikannya bukan merupakan opini pribadi,” katanya.
Ia menerangkan tajuk merupakan pandangan redaksi terhadap isu yang sedang hangat di publik. Karena itu, tajuk harus aktual.
Meski pendek, namun Djunaedi mengatakan penulisan isuk atau topik tajuk harus yang memberikan dampak pada kehidupan masyarakat. Isu itu memaparkan latar belakangnya, masalah yang terjadi dan dipungkasi dengan tawaran solusi.
“Dengan demikian, tajuk bukan penghias atau pelengkap media massa, namun merupakan sikap dari lembaga media massa,” tambahnya. (ST01)