Surabayatoday.id, Surabaya – Sejak awal tahun 2021, bencana banjir menimpa berbagai daerah di Indonesia. Bahkan hingga Sabtu (13/2) lalu, menurut Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), banjir telah terjadi 243 kali.
Curah hujan yang tinggi disebut-sebut sebagai penyebab utama banjir itu. Tetapi Dr Ir Amien Widodo MSi, peneliti bencana dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) menyatakan bahwa curah hujan tinggi bukan satu-satunya penyebab banjir di Indonesia.
Amien menerangkan, umumnya kota sudah didesain agar dapat menghadapi hujan terbesar. Kapasitas saluran air untuk menampung curah hujan yang digunakan sebuah kota bisa mencapai lima hingga 50 tahun. Bahkan bisa menggunakan perencanaan 100 tahun jika tersedia ruang dan biaya yang cukup.
“Berdasarkan curah hujan tersebut, akan dihitung dan dibuat saluran penampung air hujan dengan dimensi menyesuaikan debit banjir yang akan terjadi,” ungkap peneliti senior dari ITS ini.
Saluran penampung air tersebut dapat berupa tanggul, bozem, atau rawa yang dibangun di berbagai tempat untuk menampung luapan sungai. Selain itu, untuk mempercepat penurunan muka air banjir, dipasang pompa-pompa air dan juga biasanya dilakukan pengerukan sedimen sungai, rawa, atau bozem untuk mencegah sedimentasi.
“Perencanaan yang telah dilakukan pemerintah itu bisa berjalan sebagaimana mestinya jika masyarakat juga mendukung dan mematuhi peraturan yang dibuat untuk menjaga saluran air,” tutur peneliti dari Pusat Penelitian Mitigasi Kebencanaan dan Perubahan Iklim (MKPI) ITS ini mengingatkan.
Namun, lanjut Amien, sayangnya saluran air yang telah dibuat tidak terjaga dengan baik seiring dengan pesatnya laju pertumbuhan penduduk kota. Menurut keterangan dosen Teknik Geofisika ini, berkurangnya lahan membuat masyarakat mulai merambah dan bermukim di tepi sungai serta pinggiran sekeliling bozem.
Mereka ada yang menjadikan sungai dan bozem tersebut sebagai tempat pembuangan sampah sehari-hari. Mirisnya, pembuangan sampah pada saluran air juga banyak dijumpai di pemukiman biasa maupun di pemukiman elit.
“Ini sangat memprihatinkan karena hampir semua elemen masyarakat masih ada yang membuang sampah sembarangan, pada akhirnya saat hujan mengguyur mulai banyak saluran yang meluap dan membanjiri seluruh kota,” ungkapnya.
Tidak menutup kemungkinan, apabila hal ini terus menerus dibiarkan dapat mengakibatkan tanggul jebol. Seperti halnya pada kasus banjir Bandarkedungmulyo, Jombang yang baru-baru ini terjadi. Banyak desa terendam air selama berhari-hari termasuk jalan provinsi antara Surabaya – Madiun.
“Banjir Bandarkedungmulyo ini disebabkan jebolnya tanggul karena tidak kuat menahan luapan air, yang mana diakibatkan oleh debit air Sungai Konto Jombang yang tertahan oleh penumpukan kayu, pohon, dan sampah di pintu air Gudo,” jelas Amien.
Amien pun mengungkapkan bahwa sebenarnya sampah di pintu air Gudo sudah diketahui masyarakat beberapa hari sebelumnya. Namun karena tidak segera dilakukan tindakan, maka terjadilah tanggul jebol.
“Melalui kejadian ini, kita belajar bahwa perlunya dibangun jalur komunikasi khusus antara masyarakat di sekitar sungai dengan pihak pengelola sungai,” urainya. (ST02)