Surabayatoday.id, Surabaya – Salah satu persoalan anak adalah terjadi dalam fase pengasuhan. Tercatat, 95.793 kasus perceraian dari data Pengadilan Agama Jawa Timur pada 2019.
Kondisi itu belum termasuk anak dalam keluarga berkonflik, keluarga terpisah, keluarga bercerai, keluarga pekerja migran, anak yang dilahirkan oleh ibu yang menjadi korban kekerasan, atau yang lahir dari orang tua yang tidak siap menikah atau siap memiliki anak. Bahkan,ada 5.766 anak meminta dispensasi nikah.
Dalam webinar Policy Brief Tatanan Baru Layanan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak di Jatim, Selasa (22/12), Direktur LPA Tulungagung Winny Isnaini mengatakan dari berbagai permasalahan anak yang ada, dinilai perlu melakukan review pemenuhan dan perlindungan hak anak berbasis sistem. “Termasuk juga melakukan penyesuaian jumlah SDM profesional dalam pelayanan anak dan penanganan kasus anak,” katanya, Selasa (22/12).
Selain itu, sistem data terintegrasi harus diperbarui setiap tiga bulan sekali. Data itu sekaligus perlu pembuatan dan pengembangan dashboard data kesejahteraan sosial anak dan keluarganya.
“Termasuk juga layanan perlindungan anak di Jawa Timur secara integratif, dengan dukungan data kabupaten/kota,” terusnya.
“Perlu dikembangkan layanan anak integratif yang meliputi penanganan anak berkasus dan anak dalam situasi rentan di seluruh daerah. Biar berdampak pada peningkatan penjangkauan dan pendampingan khusus pada kelompok anak rentan yang tidak tercatat,” kata Winny lagi.
Tak kalah pentingnya, pengembangan lingkungan layak anak harus bekerja sama dengan dunia usaha, sebagai bagian dari tanggung jawab sosial korporasi. Dunia usaha juga harus punya peran dan bagian dalam pengembangan dan penguatan lingkungan yang mampu melindungi anak dari berbagai tindak kekerasan.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi E DRPD Jatim Hikmah Bafaqih menuturkan, rencana policy brief yang digagas ini sangat penting. Semua ini harus dikawal dan ditindaklanjuti menjadi regulasi baik berupa program maupun anggaran.
Menurutnya, ada tiga kebutuhan besar anak dalam kelompok primer, sekunder dan tersier. “Termasuk mereka yang memiliki risiko tinggi, dari kelompok rentan seperti mereka yang tinggal di daerah terpencil, masalah keluarga, pekerja migran sampai mereka yang di pengungsian,” katanya.
Irisan masalah anak ini bisa dipilah dengan berbagai pendekatan. Baik itu yang berada di kelompok risiko dan sektor rentan. Dengan membagi persoalan itu per kategori, maka bisa memudahkan dalam memberikan solusi yang tepat.
“Tindakan pencegahan tentu baik. Misalnya mencegah pernikahan anak, makanya informasi harus sampai di KIA, komponen yang ada di KIA itu haus menjadi pelindung bagi anak,” jelasnya.
Untuk efektifitas, katanya, urusan anak tentu tidak hanya menjadi beban DP3AK saja, tapi juga lintas sektor yang bisa saling bahu membahu. Sehingga masalah anak bisa dipecahkan serta ada solusi yang diberikan. Kerja-kerja yang dibangun pun bisa fokus.
“Saya juga sepakat ada data sebagai based line dalam bergerak,” sambungnya. (ST01)