SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Pencegahan dan penanganan stunting di Kota Surabaya dilakukan secara holistik mulai dari hulu ke hilir. Pola penanganan yang dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya ini pun berhasil menurunkan stunting secara signifikan menjadi 279 kasus hingga akhir tahun 2023.
Kepala Tim Kerja Kesehatan Keluarga dan Gizi Masyarakat Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya, Sri Lestari membeberkan pola penanganan yang telah dilakukan pemkot. Ia menyebut, jika penanganannya dilakukan mulai dari hulu ke hilir.
“Kita sudah mengintervensi stunting dari hulu ke hilir. Jadi dari remaja sudah kita intervensi, kita berikan TTD (Tablet Tambah Darah), salah satu intervensi mencegah stunting,” kata Sri Lestari, Senin (12/2).
Dengan pemberian intervensi TTD, maka ketika remaja itu menjadi calon pengantin (catin), gizinya sudah membaik. Bahkan, intervensi dan pendampingan yang dilakukan pemkot akan semakin masif ketika remaja tersebut menjadi calon pengantin.
“Jadi mulai remaja kita perbaiki (gizinya), kita berikan TTD. Kemudian lanjut saat menjadi calon pengantin, itu sudah betul-betul kita dampingi, kita berikan juga intervensi MMS (Multiple Micronutrient Supplement),” ujar dia.
Nah, untuk memastikan kesehatan setiap calon pengantin, Dinkes melalui Puskesmas juga melakukan pemeriksaan rutin kepada pasangan catin. Pemeriksaan tak hanya dilakukan dari segi kesehatan calon pengantin, tetapi juga status gizi KEK (Kekurangan Energi Kronis).
“Jadi, kita harapkan di catin selama 3 bulan sebelum dia menikah, itu betul-betul dipersiapkan kondisi tubuhnya sehat,” ungkap Sri Lestari.
Intervensi yang diberikan pemkot dalam mencegah stunting, rupanya tak berhenti di sana. Namun, intervensi itu kemudian dilanjutkan ketika seorang perempuan memasuki masa kehamilan. Salah satunya melalui Pemberian Makanan Tambahan (PMT) bagi ibu hamil yang mengalami KEK.
“Sehingga pada saat dia mengandung, itu dalam keadaan sehat. Sehingga anaknya nanti jauh dari rawan stunting, kita harapkan seperti itu,” sambungnya.
Menurut dia, seorang balita masuk kategori rawan stunting, sebenarnya sudah bisa dilihat sejak baru lahir. Ia menyebut, apabila berat badan balita kurang dari 2,5 kilogram atau tinggi kurang dari 48 sentimeter, maka balita itu masuk kategori berpotensi rawan stunting.
“Jadi dari sejak balita sudah bisa dilihat apakah dia akan menjadi stunting, rawan stunting atau tidak. Jadi kita memandangnya dari hulu, dari awal,” paparnya.
Ketika ditemukan kasus seperti ini, pemkot akan fokus terhadap perbaikan gizi balita tersebut melalui Pemberian Makanan Tambahan. Lebih dari itu, pemkot juga memberikan intervensi untuk kesiapan orang tuanya melalui Sekolah Orang Tua Hebat (SOTH).
Data Pemkot Surabaya mencatat, pada tahun 2021, prevalensi balita stunting di Kota Pahlawan mencapai 6.722 kasus. Jumlah tersebut, turun pada awal tahun 2023 menjadi 923 kasus. Sementara hingga akhir tahun 2023, prevalensi stunting di Kota Pahlawan turun menjadi 279 kasus.
Pola pencegahan dan penanganan yang dilakukan secara holistik oleh pemkot, membuat sejumlah wilayah kelurahan di Surabaya zero balita stunting. Seperti di antaranya, wilayah Kelurahan Nginden Jangkungan, Kecamatan Sukolilo, Surabaya.
Lurah Nginden Jangkungan, Kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya, Novy Astiwie mengungkapkan, bahwa saat ini di wilayahnya sudah zero balita stunting. Pencegahan dan penanganan stunting pun telah dimasifkannya sejak tahun 2022.
“Tahun 2022 saat saya masuk menjadi Lurah Nginden, itu ada 13 kasus stunting. Kemudian turun di tahun kemarin (2023) tinggal 1 kasus, dan sekarang (2024) sudah zero kasus,” kata Novy. (ST01)