SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi memaparkan sejumlah strategi penanganan stunting di Kota Pahlawan. Strategi itu salah satunya dengan memetakan berapa banyak data jumlah bayi yang lahir setiap harinya. Dari data tersebut, kemudian dipisahkan per wilayah berapa bayi yang lahir normal dan stunting.
“Per hari harus tahu berapa bayi yang lahir di Surabaya. Karena bayi yang lahir ada di klinik, bidan, puskesmas dan rumah sakit. Mereka ini semua membuat laporan ke aplikasi Kementerian Kesehatan. Sehingga saya tahu berapa bayi lahir di Surabaya, yang stunting berapa,” katanya.
Hal itu disampaikannya dalam sebuah acara Forum Merdeka Barat (FMB) bertajuk “Langkah Penting Turunkan Stunting” yang digelar secara daring di Jakarta, Senin (26/6).
Menurutnya, data balita stunting di Surabaya ini juga dapat diketahui per wilayah sampai di tingkat RT/RW. Termasuk pula berapa banyak data warga miskin dan pengangguran di wilayah tersebut. Nah, dalam upaya pencegahan atau penanganan stunting tersebut, Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya menerapkan pola gotong-royong.
“Setelah data diketahui, kemudian kita pisahkan, kita buat penanggungjawab dan pola gotong-royong itulah yang kita gunakan. Sehingga di Surabaya ini ada Kader Surabaya Hebat (KSH), sekitar 45.000 dan beliau inilah yang turun mendampingi,” ungkap dia.
Tetapi, Eri juga menyatakan, bahwa pencegahan dan penanganan stunting di Surabaya bukan hanya dilakukan saat balita tersebut lahir. Namun, pencegahan dimulai ketika anak perempuan sudah memasuki siklus menstruasi.
“Kita sudah punya aplikasi yang dia (anak perempuan) kita berikan zat besi di sekolah-sekolah. Jadi kita tahu, hari ini dia tidak minum, tidak masuk sekolah, maka kita kirim ke rumahnya sampai dia ke calon pengantin (catin),” paparnya.
Karena itu, sebelum menikah, Pemkot Surabaya mewajibkan setiap calon pengantin mengikuti program Kelas Catin. Di mana dalam program ini, Catin akan diberikan pengetahuan, pemahaman, dan keterampilan tentang kehidupan rumah tangga. Pemahaman yang diberikan meliputi segala aspek, terutama dari segi kesehatan.
“Itu kita dampingi sampai dia menjadi calon pengantin yang bagus. Setelah dia menikah, kita juga dampingi lagi sampai mereka hamil dan melahirkan, sehingga (stunting) turunnya drastis,” ungkapnya.
Data prevalensi stunting di Kota Surabaya mencatat, hingga akhir tahun 2022 turun menjadi 4,8 persen dari sebelumnya di tahun 2021 yang mencapai 28,9 persen. Dimana pada akhir tahun 2022, kasus stunting di Surabaya tercatat ada 923 balita dan turun menjadi 712 balita hingga akhir bulan Mei 2023.
Ia juga menambahkan, bahwa tidak seluruhnya penanganan stunting di Kota Pahlawan menggunakan APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) Surabaya. Tetapi penanganan dilakukan pentahelix, dengan cara gotong-royong melibatkan semua stakeholder hingga perguruan tinggi.
“Yang saya bangga betul, kami (Pemkot Surabaya) tidak semua menggunakan APBD, karena di tempat kami ada orang tua asuh stunting. Nah, keterlibatan masyarakat ini yang menjadi kunci penanganan stunting di Surabaya,” imbuhnya. (ST01)





