SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Ujaran kebencian dan perundungan marak. Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengajak akademisi dan praktisi komunikasi turut memerangi ujaran kebencian dan perundungan ini.
Menurutnya, fenomena ujaran kebencian dan perundungan sudah menjadi trend global diseluruh dunia, yang terus mengalami peningkatan kasus. Kemajuan teknologi yang sangat pesat, termasuk media sosial, kata Khofifah, juga menjadi pemicu, semakin mudahnya seseorang dalam menyebarluaskan berbagai informasi termasuk ujaran kebencian dan melakukan aksi perundungan.
“Yang perlu dikhawatirkan dalam konteks ujaran kebencian ini adalah dampaknya dimana masyarakat rentan termakan isu-isu yang bisa menimbulkan kekerasan, perpecahan, dan konflik,” ungkapnya.
Hal itu disampaikan Khofifah saat pelantikan Pengurus Pusat Asosisasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) periode 2022-2025, dan Seminar Nasional di Auditorium Dian Universitas Ciputra Surabaya, Kamis (22/9).
“Sedangkan dalam kasus perundungan akan menyebabkan tekanan sosial, stress, trauma, bunuh diri pada korban dan juga berpotensi membunuh orang lain,” tambahnya.
Khofifah menyebut, ujaran kebencian yang banyak bertebaran di media sosial bertolak belakang dengan konsep kesantunan berbahasa, sama hal nya dengan etika berkomunikasi.
Kebebasan di media sosial, lanjut Khofifah, menjadi penyebab individu tidak merasa takut melakukan aksi ujaran kebencian di suatu postingan atau berita. Anonimitas yang disediakan platform media sosial juga menyebabkan banyak orang merasa aman saat melakukan aksi tersebut.
“Tidak sedikit yang menghujat, menghina, dan mencaci maki berdalih sebagai bentuk kritik. Parahnya lagi, komentar negatif tersebut dilakukan demi mendapatkan like, terlihat keren, atau mengikuti tren, tanpa mengetahui apa yang terjadi dan inti permasalahannya,” imbuhnya.
Maka dari itu, Khofifah menyampaikan bahwa perang melawan ujaran kebencian dan perundungan adalah sebuah pekerjaan besar bersama. Masyarakat, harus terus diedukasi bagaimana cara menggunakan media sosial dengan bijak.
Termasuk bagaimana cara bersosialisasi dan berkomunikasi dengan individu dan kelompok lain sehingga potensi konflik bisa diredam. Selain itu, tambah Khofifah, literasi digital masyarakat juga perlu ditingkatkan agar tidak tersandung UU ITE.
“Literasi digital bukan sebatas kemampuan untuk mengoperasikan suatu teknologi pada kehidupan sehari-hari. Tetapi para pengguna juga dituntut untuk bisa bertanggung jawab ketika menggunakannya,” tuturnya.
Meski begitu, Khofifah mengatakan, bukan berarti masyarakat tak lagi bebas untuk berpendapat atau berekspresi. Hanya saja, perlu ada batasan-batasan untuk bebas mengeluarkan pendapatnya.
Ia optimistis keterlibatan akademisi dan praktisi komunikasi dapat meningkatkan toleransi dan moderasi yang akan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. (ST02)