SURABAYATODAY.ID, PONOROGO – Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa mengacungi dua jempol atas inovasi waste to energy. Inovasi ini ditelurkan SMK Ponorogo berupa pengolahan sampah Refuse Derived Fuel (RDF) sebagai pengganti batu bara.
Menurut Khofifah, inovasi tersebut sangat berarti ditengah upaya Indonesia menekan laju perubahan iklim dengan cara mengurangi produksi gas rumah kaca dan emisi gas karbon. Inovasi ini sendiri juga telah digunakan Pemkab Ponorogo dalam menyelesaikan persoalan tumpukan sampah di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Mrican.
“Ini menjadi salah satu upaya dalam menurunkan emisi CO2. Pengolahan sampah ini merupakan format renewable energi atau energi baru terbarukan yang bisa mensubstitusi briket batu bara,” ujar Khofifah, Senin (8/11).
“Kita bisa melihat tumpukan sampah bisa diolah menjadi briket yang mensubstitusi batu bara dengan teknologi tepat guna sangat sederhana,” ungkapnya.
Khofifah menyebut, saat ini permintaan briket sampah sangat besar dan luas, mulai dari Pasuruan, Kediri, Malang, Sidoarjo, hingga Gresik. Briket sampah dinilai jauh lebih murah dibandingkan bahan bakar lainnya seperti kayu bakar atau batu bara. Sedangkan kalori dari briket hasil risetnya ini hampir setara dengan batu bara.
Menurut Khofifah, inovasi yang diciptakan SMK dan pemuda Ponorogo ini masuk dalam kategori energi baru terbarukan. Sementara saat ini, energi baru terbarukan menjadi salah satu peluang bisnis yang sangat menjanjikan karena melimpahnya potensi energi terbarukan yang dimiliki Indonesia.
“Saya yakin, jika dikembangkan lebih massif lagi, termasuk pemasarannya, maka peluang pasar di luar Jawa Timur masih luas dan terbuka,” imbuhnya.
Karena itu, ia berencana mereplikasi inovasi ini di semua kabupaten/kota di Jawa Timur. Harapannya, persoalan tumpukan sampah yang menggunung bisa teratasi dan bisa memberi manfaat ekonomi bagi daerah. Di antaranya mengatasi persoalan pengangguran di daerah-daerah.
Khofifah pun mengajak SKK Migas Jawa-Bali Nusra, dan seluruh asosiasi BUMN/BUMD untuk mensinergikan penyelesaian sampah melalui inovasi yang disuguhkan oleh Pemkab dan SMK di Ponorogo tersebut melalui program corporate social responsibilty (CSR). Mengingat, biaya yang dibutuhkan lumayan besar untuk membuat mesin pengolahan sampah ini.
“Saya tanya untuk biaya hulu-hilir Rp 6 miliar. Tapi untuk bisa mengolah (finishing) satu mesin cukup 200 juta rupiah,” katanya kembali.
Karena mesin induk cukup satu, dan mesin finishing perlu ditambah. Dengan 5 mesin, sehari bisa mengolah sampah 30 ton, sementara produk sampah Ponorogo 90 ton per hari .
“Jadi minimal butuh tiga kali lipat untuk mengolah sampah harian. Belum lagi tumpukan sampah di TPA Mrican yang berpotensi diolah juga,” jelas Khofifah. (ST02)