SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Permintaan energi listrik di Indonesia diprediksi bakal terus melejit. Sedangkan mayoritas penduduk Indonesia masih bergantung pada PLN sebagai produsen listrik.
Namun baru-baru ini, Tim Antasena ITS menemukan cara membuat energi listrik yang baru. Bahannya tidak sulit. Bahkan bisa dikatakan mudah ditemukan di Indonesia, terutama di pedesaan.
Bahan tersebut adalah sekam padi. Sekam dipilih lantaran Indonesia adalah negara agraris. Hampir semua daerah di pedesaan di Indonesia para petaninya menghasilkan produksi padi. Jika padi melimpah, tentunya menghasilkan sekam padi yang juga melimpah.
“Kami tertarik memanfaatkan peluang yang ada (sekam) untuk menjadikan sebagai sumber energi terbarukan,” ungkap Ketua Tim Antasena, Ibrahim Fatahillah Hizbul Islam.
Melalui sekam ini, tim Antasena yang terdiri dari beberapa mahasiswa ITS itu mengubahnya menjadi energi listrik. Mahasiswa yang dimaksudkan adalah Ahmad Fahmi Prakoso (Teknik Material dan Metalurgi 2018), dan Mikael S K Raditya Dwiatmaka (Teknik Kimia 2019). Selain itu ada Muhammad Wildan Abyan (Teknik Material dan Metalurgi 2019), dan Deden Eko Wiyono (Teknik Kimia Industri 2019). Sedangkan Ibrahim Fatahillah Hizbul Islam sendiri backgroundnya Teknik Material dan Metalurgi angkatan tahun 2018
Ia menyebut timnya berhasil membuat Antasena Biohidrogen Electric Generator. “Alat tersebut bertujuan memproduksi gas hidrogen dengan fermentasi biomassa,” lanjut Ibrahim Fatahillah Hizbul Islam.
Secara teknis, menurut dia, biomassa yang digunakan berasal dari sekam padi. Sekam pada awalnya diolah menggunakan NaOH guna mendegradasi lignin dan alat penggiling. Ini digunakan untuk memperluas permukaan kontak pada sekam tersebut.
Selanjutnya sekam padi dihidrolisis menggunakan dua mikroorganisme yaitu trichoderma reesei dan aspergillus niger. Hal ini berguna untuk mengonversi kandungan selulosa pada sekam agar menjadi glukosa.
Berikutnya, sekam hasil pengolahan awal tersebut difermentasikan menggunakan bakteri anaerob yaitu Clostridium Butyricum. Bakteri tersebut dipilih karena memiliki kemampuan untuk memproduksi hidrogen.
“Gas hidrogen ini kemudian diubah menjadi energi listrik dengan menggunakan fuel cell,” jelasnya.


Fatah melanjutkan bahwa Antasena Biohidrogen Electric Generator ini juga dapat menjadi sebuah investasi yang akan menguntungkan dari segi ekonomi. Berdasarkan analisa yang mereka lakukan, alat ini memiliki nilai pendapatan yang sama besar dengan modal yang dikeluarkan.
“Hal ini membuat tidak adanya kerugian atau keuntungan selama dua tahun, sembilan bulan, 20 hari dalam penggunaannya,” ujar dia.
Gas hidrogen yang dapat dihasilkan oleh Antasena Biohidrogen Electric Generator mencapai 5,72 liter per jam. Gas hidrogen tersebut dapat dikonversikan ke energi listrik dengan fuel cell. Berdasarkan hal tersebut, alat ini diasumsikan dapat memenuhi kebutuhan listrik dari 16 rumah dengan kapasitas listrik setiap rumah 500 watt.
“Masyarakat menjadi lebih untung sebesar 87 persen dibanding menggunakan listrik biasa,” tuturnya.
Dengan analisa tersebut, alumnus SMAN 12 Surabaya ini memaparkan bahwa alat tersebut bisa digunakan untuk menjawab permintaan energi di Indonesia. Diprediksi, permintaan listrik akan makin naik beberapa tahun lagi. Di sisi lain, masih sedikit masyarakat yang menggunakan Energi Baru Terbarukan (EBT).
“Jadi sudah seharusnya Indonesia mulai memanfaatkan sumber energi terbarukan,” tambahnya.
Di sisi lain, karya Antasena Biohidrogen Electric Generator ini sudah mendapat pengakuan. Setidaknya, konsep itu telah meraih Gold Medal dalam ajang Indonesia International Applied Science Project Olympiad (I2ASPO) pada Desember 2020 lalu.
Fatah berharap alat itu bisa dikembangkan untuk membantu kebutuhan energi listrik. Paling tidak, masyarakat tidak hanya bergantung listrik yang disuplai PLN.


Automatic Solar Hidroponik
Salah satu sumber energi terbarukan lainnya yang juga dihasilkan tim ITS adalah Automatic Solar Hidroponik. Konsep ini diujicobakan di Kampung Hidroponik Simomulyo, Surabaya.
Geraldy Rizko Adhira Putra, salah satu personel tim Kuliah Kerja Nyata dan Pengabdian Masyarakat (KKN Abmas) mengungkapkan karena lahan pertanian di perkotaan terbatas, salah satu cara yang dilakukan petani adalah bercocok tanam secara hidroponik. Tetapi salah satu masalahnya adalah pemborosan tenaga listrik akibat pengairan.
Proses pengairan itu masih dilakukan secara manual. Selain itu, pengecekan pH air secara tidak berkala dan pemberian nutrisi secara konvensional mengakibatkan kualitas sayur menjadi tidak maksimal. Imbasnya biaya operasional juga tinggi.
Karena itulah tim KKN Abmas ITS ini merancang alat bernama Automatic Solar Hidroponik yang berbasis energi surya dengan kontrol nutrisi dan pH.


Geraldy Rizko Adhira Putra mengungkapkan, dari kendala itu, tim menganalisa sel surya berpotensi menghasilkan teknologi modern dengan kompetensi yang baik. “Sehingga dirancanglah Automatic Solar Hidroponik,” ungkapnya.
Tidak seperti sumber energi yang lain, imbuhnya, sel surya termasuk sumber energi tidak linier. Daya yang dihasilkan akan bergantung pada iradiasi dan temperatur lingkungan, sehingga untuk memaksimalkan daya yang dihasilkan perlu adanya metode agar sel surya bekerja pada titik maksimalnya. Metode ini selanjutnya lazim disebut dengan Maximum Power Point Tracking (MPPT).
Mahasiswa kelahiran Malang, 29 April 2000 tersebut menambahkan bahwa alat ini dilengkapi dengan baterai, arduino, solar panel, dan Solar Charge Controller (SCC). Selain itu, terdapat pula sistem timer yang berfungsi mengatur waktu penyalaan pompa.
Dengan timer itu, pompa menjadi tidak mudah panas dan masa pemakaiannya pun menjadi lebih panjang. “Yang terpenting, sistem ini juga dapat mengurangi pemanfaatan sumber energi listrik yang berlebih,” terangnya.
Sistem lain yang ada di pompa ini di antaranya adalah sensor pH dan nutrisi. Sensor ini berfungsi memerintah alat agar dapat menyuplai nutrisi dan pH ke tanaman hidroponik.
Pada sistem ini, pompa difungsikan sebagai alat untuk mengalirkan air ke pipa-pipa yang berisikan tanaman hidroponik. Selanjutnya aliran tadi akan dikembalikan lagi ke sebuah tandon besar.


“Kami bersyukur akhirnya Automatic Solar Hidroponik ini berhasil diresmikan dan dihibahkan kepada warga Simomulyo pada 12 Agustus 2021 lalu,” tambah Geraldy.
Ia menuturkan warga memberikan respons atas Automatic Solar Hidroponik ini. Selain mengurangi beban listrik, paling tidak petani hidroponik ini tidak perlu bekerja manual.
“Selama ini mereka bekerja secara manual, kini sudah bisa dilakukan otomatis dan modern,” ujarnya.
Geraldy berharap para petani hidroponik terinspirasi dengan inovasi ini. Ia juga memiliki keinginan agar petani hidroponik yang lain bisa menerapkan hal tersebut berbasis energi terbarukan di daerah mereka masing-masing. (ST05)