SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Masker wajib dikenakan di masa pandemi, terutama jika ingin beraktivitas di luar rumah dan bertemu banyak orang. Tak ayal, limbah masker medis sekali pakai turut mengalami kenaikan.
Peningkatan limbah masker di masa pandemi tidak hanya berdampak bagi lingkungan, namun juga berpotensi menularkan virus ke masyarakat sekitar. Mahasiswa ITS, Eunike Rhiza Febriana Setyadi melalui esainya menggagas masker kain yang lapisan tengahnya diberi filter khusus berbahan dasar limbah tempurung siwalan.
“Limbah masker medis sulit terurai dan membutuhkan sumber daya yang cukup besar dalam pengelolaannya,” ungkap mahasiswi yang akrab disapa Ike ini.
Melalui esai bertajuk Potensi Active Carbon Sheet Mask Ramah Lingkungan dari Limbah Tempurung Siwalan guna mengurangi penyebaran Covid-19 di Indonesia. Eunike menggagas ide masker kain yang lapisan tengahnya diberi filter khusus berupa lembaran karbon aktif.
“Lapisan karbon aktif dapat memaksimalkan efektivitas penyaringan kotoran terutama virus,” terang mahasiswa Teknik Kimia angkatan 2018 ini.
Lebih lanjut, mahasiswa asal Tuban ini menjelaskan bahwa karbon aktif ini bisa diperoleh dari kandungan selulosa yang sangat tinggi pada tempurung siwalan yaitu sebesar 89,2 persen. Buah ini juga mudah ditemukan, khususnya di Kabupaten Tuban yang memproduksi sebanyak 5.477 ton per tahun.
“Selain harganya terjangkau, pemanfaatan buah siwalan juga dapat membantu perekonomian warga,” ucapnya.
Sebelum memproses limbah tempurung siwalan menjadi karbon aktif, tempurung terlebih dahulu dicuci untuk menghilangkan kotoran yang menempel. Setelah itu dikeringkan di oven bersuhu 150 °C selama dua jam untuk menghilangkan kandungan air (proses dehidrasi).
Kemudian tempurung siwalan akan melewati tahap karbonisasi. Sebanyak 1 kilogram sabut siwalan ditempatkan dalam wadah tertutup dan dipanaskan dalam tanur pada suhu 300 °C selama satu jam.
“Tempurung siwalan ini akan berubah menjadi bentuk arang yang kemudian didinginkan, digiling dan diayak hingga arang berukuran 90 mesh,” imbuh gadis kelahiran 2000 ini.
Setelah melewati tahap karbonisasi, arang yang diperoleh akan masuk ke tahap aktivasi. Proses ini bertujuan untuk meningkatkan pori-pori permukaan arang, sehingga dapat meningkatkan daya adsorpsi terhadap cairan dan gas. Pada tahap ini, karbon direndam dengan natrium karbonat (Na2CO3) 25 persen.
“Penggunaan Na2CO3 karena sifatnya yang nontoxic sehingga ramah lingkungan dan harganya terjangkau dibandingkan aktivator lain,” tambahnya.
Lebih dalam, Ike menjelaskan bahwa aktivasi dilakukan selama 24 jam dengan perbandingan massa arang dan volume aktivator adalah 1:10. Selanjutnya dilakukan penyaringan menggunakan kertas saring, pencucian arang aktif dengan aquades, lalu dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 150 °C selama empat jam.
Terakhir, tempurung siwalan yang sudah menjadi karbon aktif ini dibentuk menjadi lembaran tipis. Maka karbon aktif perlu ditambahkan bubuk kitosan yang sudah dilarutkan dalam asam asetat 2 persen, dengan perbandingan 50:50. “Senyawa kitosan ini antimikroba, tidak beracun, dan memiliki kapasitas adsorpsi yang tinggi,” tandasnya meyakinkan.
Hasil pencampuran karbon aktif dengan kitosan ini akan menghasilkan active carbon sheet dengan ukuran pori-pori sebesar 3,702 nanometer. Ukuran pori ini efektif menyaring berbagai macam debu, udara beracun, bakteri, virus yang berukuran sekitar 125 nanometer, bahkan coronavirus yang ada saat ini.
“Filter karbon aktif ini dapat digunakan sebagai filter masker kain dalam waktu 4-7 hari pemakaian,” jelasnya.
Gagasan yang cukup inovatif ini pun telah berhasil meraih juara 2 dalam perlombaan esai nasional Forum Komunikasi Mahasiswa Politeknik Indonesia (FKMPI) Lampung, beberapa waktu lalu. Ike mengungkapkan bahwa kurangnya penelitian terkait proses pengubahan karbon aktif menjadi lembaran tipis adalah kendala utama. “Hingga saat ini saya belum dapat menemukan penelitian mengenai hal tersebut,” ujarnya. (ST05)