Surabayatoday.id, Surabaya – Layanan kesejahteraan dan perlindungan anak di Jawa Timur terus dikembangkan. Berbagai tantangan baru, terutama di masa pandemi covid-19 menyertai metode dan cara yang akan dipakai untuk mewujudkan anak yang aman, sehat serta terjamin kehidupannya.
Direktur LPA Tulungagung Winny Isnaini menuturkan, ada berbagai permasalahan yang harus dihadapi anak-anak. Berbagai regulasi pun dibangun untuk menciptakan layanan kesejahteraan dan perlindungan anak yang tepat terdapat dalam pelicy brief yang sudah dihasilkan.
Policy brief tentang tatanan baru layanan kesejahteraan dan perlindungan anak di Jatim ini dirancang oleh Universitas Brawijaya Malang, Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Muhammadiyah Malang, Universitas Surabaya, LPA Tulungagung dan UNICEF. Beberapa perwakilan forum anak Jatim juga menyampaikan keinginan dan usulannya terkait kondisi anak-anak di Jatim.
Jatim tercatat memiliki 1.605 Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak atau LKSA, yang terdiri dari 760 LKSA terakreditasi dan 845 LKSA belum terakreditasi. Anak-anak yang berada di LKSA ada yang masih memiliki orang tua maupun kerabat, ada juga yang tidak memiliki kerabat sama sekali. Beberapa LKSA masih belum memiliki data serta sulit diakses.
“Akibatnya, Dinas Sosial masih belum memiliki peta anak dalam pengasuhan berbasis lembaga atau non lembaga,” ujar Winny.
Hal ini disampaikannya saat menjadi salah satu juru bicara ketika menjelaskan Policy Brief Tatanan Baru Layanan Kesejahteraan dan Perlindungan Anak di Jatim, Selasa (22/12). Ia mengatakan banyak anak yang menjadi korban karena orang tua sibuk, dampak perceraian, TKI, meninggal, sengaja dibuang, keterbatasan fisik orang tua, anak tidak dikehendaki, anak terkena kasus hukum, beda agama, sampai adanya konflik.
Ia melanjutkan, ada juga data e-Simfoni per Oktober 2020 menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual menempati ranking tertinggi. Dari 450 kasus, kekerasan psikis lebih dari 200 kasus, dan kekerasan fisik lebih dari 150 kasus.
“Maka, perlu ada program dan kegiatan pengasuhan bagi orang tua dan anak, khususnya anak-anak yang mengalami risiko tinggi dan telah menjadi korban kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah,” terangnya.
Winny juga menjelaskan, ada beberapa fakta kalau keluarga belum menjadi jaminan tempat yang aman bagi anak. “Terbukti, kekerasan pada anak cenderung terjadi di tempat-tempat yang sangat dikenal anak, atau dirasa aman oleh mereka,” katanya kembali. (ST01)