Surabayatoday.id, Surabaya – Tidak banyak di kabupaten/kota di Indonesia ini dipimpin oleh seorang perempuan. Mayoritas, bahkan di seluruh dunia sekalipun, kaum laki-laki sangat mendominasi. Namun di Surabaya, Tri Rismaharini berhasil menjadi wali kota.
Dari catatan redaksi Surabayatoday.id, ia menjadi wali kota pertama perempuan di Kota Pahlawan yang awalnya seorang birokrat atau notabene hanya seorang tukang taman. Bisa disebut demikian karena Risma sebelum ini memang pernah di Dinas Kebersihan dan Pertamanan (sekarang bernama Dinas Kebersihan dan Ruang Terbuka Hijau). Dialah yang menukangi pembangunan taman-taman di Surabaya.
Memang. Tidak akan ada yang pernah tahu, bayi lahir akan ditakdirkan jadi apa atau sebagai siapa. Jodoh, rezeki dan maut adalah rahasia Tuhan, yang di dalamnya tentu termasuk jabatan.
Tidak akan pernah ada yang tahu, seorang bayi lahir akan ditakdirkan menjadi pengemis, pengusaha, pejabat atau sederet hal lainnya. Tak terkecuali Tri Rismaharini.
Perempuan asal Kediri itu dulunya hanya pegawai biasa. Namun sejak menduduki jabatan kepala DKP Kota Surabaya tahun 2005 sampai 2008, namanya mencuat. Perempuan kelahiran 20 November 1961 silam itu menjelma menjadi idola masyarakat Surabaya karena keberhasilannya mengelola taman.
Taman-taman yang dulunya tak terawat kini menjadi ijo royo-royo. Pemandangan Kota Surabaya yang dulunya kurang sedap, kini menjadi kinclong lewat jari-jari kepemimpinan Risma. Di jalan-jalan protokol Surabaya, cuaca panas menjadi lebih teduh karena kembali hijaunya Ruang Terbuka Hijau (RTH).
Melihat ini, tentunya Surabaya pantas menyematkan kembali slogan yang dulu sangat digadang-gadang; Suroboyoku Bersih dan Hijau. Sosok Risma pun pantas disematkan gelar pejuang lingkungan; pejuang yang berhasil menghijaukan Surabaya dan pejuang yang sukses membersihkan sampah.
“Sebetulnya saya bekerja bukan untuk mengejar penghargaan. Bagi saya, di manapun bekerja ya jangan setengah-setengah,” begitu kata Risma ketika ia masih menjabat kepala DKP.
Kiprah menonjol lulusan SMPN 10 Surabaya tahun 1976 ini sebetulnya sudah dimulai ketika ia menjabat Kepala Bagian Bina Pembangunan Kota Surabaya tahun 2002-2005. Di era ia menjabat, Pemkot Surabaya berhasil menciptakan sistem lelang berbasis internet yaitu e-procurement. Meskipun sistem ini awalnya banyak mendapat tentangan, faktanya justru e-procurement ini malah diadopsi menjadi program percontohan nasional.
Tetapi setelah ia tidak di Bina Pembangunan, namanya sempat menghilang. Ia dipindah tugas memangku jabatan Kepala Badan Pengembangan dan Penelitian (Balitbang) Kota Surabaya. Namun di Balitbang ini, ia hanya delapan bulan.
Selanjutnya ia digeser ke DKP dan membuat namanya makin tersohor. Di DKP inilah ia menyulap RTH Surabaya menjadi sangat baik. Sampah pun diperangi dengan pengelolaan terencana dengan melibatkan kader-kader lingkungan.
Apakah ia memiliki manajemen pengelolaan lingkungan dengan baik? Jawabannya Risma hanya punya keinginan membuat taman dan membersihkan sampah. Tetapi justru disitulah hebatnya. Bermodal keinginan yang kuat, ia berhasil mengembangkan ide-idenya.
Saat di DKP waktu itu, ia tidak ditunjang dengan anggaran melimpah. Istilahnya begini; jika punya duit banyak, mau melakukan apa saja dan upayanya berhasil, tentu bukanlah mengejutkan. Tetapi tidak punya duit, endingnya berhasil menyulap taman-taman kota menjadi sangat indah, inilah yang luar biasa.
Gambarannya begini. Di era Risma menjadi kepala DKP, perempuan berjilbab itu berhasil mengembalikan 11 dari 13 RTH yang dulunya dipakai sebagai SPBU sebagai taman. Tidak hanya sekadar mengembalikan sebagai taman biasa, tetapi disulap menjadi taman yang dilengkapi dengan fasilitas rekreasi bagi wisata alternatif keluarga. Padahal ia hanya memiliki anggaran minim.
“Saya hanya berusaha. Saya tidak ingin menyerah meskipun dana yang kami miliki sangat kecil,” ujar Risma jebolan S1 arsitektur dan S2 manajemen pembangunan kota di ITS itu.
Berbagai upaya dengan bondo nekat (bonek) pun dilakukan. Misalnya untuk menguruk tanah sebagai dasar pembuatan taman ia memanfaatkan tanah pengelolahan tinja di eks Tempat Pembuangan Akhir (TPS) Keputih. Cara lainnya ia mengeruk sungai dan hasil kerukannya dipakai menguruk taman.
Sehingga dengan sekali kerja, dua hasil langsung diraih yakni mengeruk pendangkalan sungai dan tanahnya dipakai urukan taman. Untuk jenis tananampun ia tak sungkan “leles” atau jadi pemulung barang bekas.
Ada sebuah cerita Risma mengambil tanaman yang telah dibuang ke TPA. Tanaman tersebut lantas dibawa dan ditanam di taman-taman. “Soalnya mau beli tanaman baru, uang kita terbatas,” kenangnya.
Selain membuat taman-taman, keberhasilan Risma dalam menjadikan Surabaya menjadi lebih hijau adalah menyulap Taman Bungkul menjadi arena kongkow mengasyikan bagi warga. Taman yang dulunya sangat tidak terawat bisa dipermak tanpa pemkot mengeluarkan dana. Caranya, dengan modal cekak-nya, Risma mendekati perusahaan-perusahaan besar di Surabaya untuk mengucurkan dana CSR, dan berhasil.
Bahkan tidak hanya di Taman Bungkul, taman-taman lain juga berhasil dibangun tanpa biaya APBD. Melalui perjuangan pendekatan ke instansi lain, Risma bisa menggaet pihak lain turut membantu pembangunan taman, misalnya di Taman Dolog (Jl Ahmad Yani), taman Undaan, taman arena Ketabang dan taman Kalimas di dekat DAS Ngagel. Tapi kalau sekarang, sudah ratusan taman dibangun di Kota Pahlalwan.
Gambaran di atas barulah kiprah Risma membangun taman. Belum lagi kiprah lain di bidang penanganan sampah. Di eranya duduk di DKP, jumlah produksi sampah yang masuk ke TPA mengalami penurunan. Ini artinya pemkot berhasil menekan angka produksi sampah yang menjadi persoalan di kota manapun.
Selama menjabat di DKP itu, Risma memang getol bersafari ke masyarakat. Hampir 80 persen kerjanya dilaksanakan di lapangan, meskipun ia adalah seorang kepala dinas yang umumnya kepala dinas itu lebih sering duduk di belakang meja. “Saya sadar menangani sampah tanpa melibatkan masyarakat tidak akan ada hasil. Karena itulah perlu terbentuknya kader-kader lingkungan,” terang dia.
Lewat kader-kader lingkugan itulah, pemkot Surabaya berkampanye tentang sampah. Lewat kader lingkungan pula di Surabaya telah terbangun puluhan rumah kompos di mana sampah diolah sendiri oleh warga. Dengan demikian fungsi TPA menjadi lebih enteng. Penduduk juga sudah banyak yang tahu tentang pengelolaan sampah menggunakan takakura, pengolahan sampah menjadi kompos hanya dengan sebuah keranjang kecil.
Setelah dari DKP, Risma bergeser menjadi kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko). Di sinilah terakhirnya sebagai birokrat. Sebab setelah dari Bappeko, ia diusung PDIP menjadi calon wali kota Surabaya berdampingan dengan Bambang Dwi Hartono. Pasangan ini kemudian memenangi konstestasi Pilkada, kemudian dilanjutkan menjadi wali kota lima tahun berikutnya berdampingan dengan Whisnu Sakti Buana.
Selama dua periode menjadi wali kota Surabaya, banyak prestasi yang sudah diraih. Banyak penghargaan yang diterima baik dari dalam negeri atau mancanegara. Kota Surabaya pun sudah dikenal dunia. Nama Risma pun juga sudah mendunia.
Apa buktinya? Risma adalah satu-satunya wali kota asal Indonesia yang didaulat bicara di empat sesi di forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dihadiri ratusan kepala negara.
Jika presiden bicara di depan presiden, itu wajar. Menteri presentasi di depan presiden negara lain, itu juga wajar. Demikian juga bila yang bicara itu gubernur.
Tetapi ini adalah sekelas wali kota. Apalagi Risma presentasi di depan ratusan kepala negara. Baru Risma satu-satunya wali kota asal Indonesia yang mendapat kesempatan langka itu di forum PBB, di markas besarnya, New York.
Peristiwa ini sebetulnya sudah terjadi 2019 lalu. Hal itu terkuak saat Risma meresmikan SMPN 62 di Kecamatan Gununganyar, 19 Agustus 2020 lalu.
Di hadapan Forpimda, Muspika, kepala sekolah dan perwakilan guru, sebelumnya Risma berpesan memacu anak didiknya agar berprestasi. Ia berpesan jangan lagi ada istilah sekolah pinggiran dan sekolah favorit.
“Semua sekolah sama saja. Yang penting adalah sekolah mampu menciptakan anak-anak tangguh, berkarakter, memiliki daya saing,” kata Risma.
Ia juga menyebut tidak ada anak yang bodoh, sebab Tuhan memberikan kesempatan yang sama pada setiap manusia. Menurut mantan kepala Dinas Kebersihan dan Pertamanan ini, yang ada adalah anak yang rajin belajar dan malas belajar. Karena itu jika ada anak yang belum mampu menangkap pelajaran, ia minta anak tidak dianggap bodoh.
“Yang harus kita lakukan adalah memotivasi anak itu agar mau belajar lebih rajin,” terangnya.
Nah, dari sinilah rahasia itu terkuak. Mungkin karena keceplosan, Risma lantas mencontohkan dirinya sendiri. Ia mengaku tidak pernah bermimpi jadi wali kota. Padahal ia juga tidak sekolah di sekolah yang favorit.
Namun karena memiliki kemauan belajar, ia mampu meneruskan pendidikan, menjadi PNS, dan kini wali kota. “Dan saya pernah diundang PBB untuk bicara di hadapan para kepala negara. Saya sendiri kaget, wali kota Surabaya diminta bicara di hadapan ratusan kepala negara,” ujarnya.
Dari ‘keceplosan’ itu, Risma memberikan gambaran bahwa upaya yang dilakukan siapapun, jika berhasil, pengakuan dari pihak lain akan datang dengan sendirinya. Contohnya Surabaya. Banyak penghargaan diperoleh dari dalam negeri atau luar negeri.
Salah satunya adalah menjadi pembicara dalam forum PBB itu. “Saya kaget. Kenapa saya yang dipilih? Kenapa tidak memilih wali kota dari kota lain dan negara lain?” tambahnya.
Mereview ke belakang, peristiwa itu terjadi pada 23-25 September 2019. Waktu Risma diundang menjadi pembicara di markas besar PBB. Bahkan Risma tampil dalam empat sesi.
Sesi pertama ia menjadi pembicara di United Nations (UN) Climate Action Summit. Dalam sidang PBB itu dibahas terkait penanganan perubahan iklim dipimpin langsung oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) PBB, Antonio Guterres.
Sidang PBB itu membahas dampak pembangunan yang berkelanjutan. Forum ini menyatukan ratusan pemimpin dari pemerintah, bisnis dan masyarakat sipil. Mereka bersama-sama mancari solusi terhadap tantangan utama seputar perubahan iklim, kesehatan, inklusi, dan teknologi. Sementara itu Risma bicara tentang Sustainable Transportation, yakni upaya Pemkot Surabaya mengurangi penggunaan sampah plastik melalui layanan transportasi Suroboyo Bus.
Forum kedua, Risma kembali jadi pembicara. Kali ini di World Economic Forum dengan tema “Scaling Up Local Climate Action for Global Impact” bertempat di Convene 730 Third Avenue, New York. Usai itu, ia bicara kembali pada forum Local and Regional Governments Forum (UCLG World).
Selanjutnya di hari itu, Risma berbicara terkait SDGs (Sustainable Development Goals). “Saya menjadi pembicara sebagai wali kota Surabaya,” kata wali kota perempuan pertama di Surabaya ini.
Sementara itu, pada hari ketiga, Rabu (25/9/2019), Risma kembali menjadi pembicara pada sesi keempat, yakni “Localizing the SDGs”. Selama tiga hari, Risma adalah wali kota pertama dari Indonesia yang menjadi empat pembicara di sidang PBB.
Saat itu Risma menjelaskan tentang penanganan ketahanan pangan hingga pengentasan kemiskinan. Dalam penanganan ketahanan pangan, ia menuturkan di Surabaya telah diterapkan program urban farming sejak tahun 2010.
Tapi meski dengan prestasi mentereng, Risma tetaplah Risma. Ia tetap menyapu di jalan, membaur dengan pasukan kuning. Rasanya juga tidak aneh melihat Risma menyiram tanaman, ikut mengatur kemacetan lalu lintas, membantu tim PMK memadamkan kebakaran, bahkan nyemplung selokan.
Semua itu sudah banyak dikupas media massa dan muncul di media sosial (medsos). Bahkan di pandemi Covid-19 ini, ia tak risih dibonceng motor, masuk kampung-keluar kampung, untuk sosialisasi pemakaian masker dan penerapan protokol kesehatan.
Kini, di akhir masa jabatannya pada Februari 2021 mendatang, Risma naik level. Tanggal 22 Desember 2020 yang bertepatan dengan Hari Ibu, Risma diumumkan Presiden Joko Widodo untuk menjadi menteri sosial.
Mari kita tunggu gebrakan apa lagi yang bisa ia telurkan. Sekarang levelnya sudah tidak lokal Surabaya lagi, tetapi nasional. (ST01)