Surabayatoday.id, Surabaya – Debat publik pasangan calon (paslon) Cawali-Cawawali Surabaya pada Rabu (4/11) lalu di antaranya menyuguhkan tentang pembahasan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Cawali Machfud Arifin menyatakan data IPM Surabaya yang merupakan tertinggi di Jawa Timur harus dikomparasi dengan data IPM kota lain yang sebanding dengan Surabaya secara nasional.
Machfud Arifin dalam debat menyebut Kota Surabaya masih berada di kisaran peringkat 12 IPM kab/kota se-Indonesia. “Surabaya sebagai kota besar kedua di Indonesia tetapi IPM nya masih peringkat 12 dari kota/kabupaten yang ada,” kata Machfud dalam debat.
Hal ini memang diamini oleh akademisi dari universitas. IPM Kota Surabaya meski menduduki peringkat pertama di Jatim, namun secara nasional masih kalah dengan beberapa kota yang lebih kecil.
Sejumlah ibu kota provinsi dengan skala kota yang kurang lebih sama dengan Surabaya ternyata memiliki IPM lebih tinggi di tahun 2019.
Daerah dengan IPM lebih tinggi dari Surabaya tercatat adalah Jogjakarta dengan IPM 86,65, Semarang dengan angka capaian 83,19 di 2019 dan Makassar dengan IPM 82,25. Sedangkan dari data BPS tahun 2019, Surabaya IPM-nya 82,22.
Pengamat ekonomi UIN Tulungagung, Rakhmat Subagyo, menilai capaian IPM Surabaya memang masih cukup baik karena di kisaran angka 80. Namun alumnus FEB Unair ini mengingatkan IPM juga mengindikasikan agar pemerintah daerah setempat untuk mendorong sejumlah hal.
Pertama adalah produktivitas. Penduduk diharapkan mampu menghasilkan pendapatan. Kedua, pemerataan yakni tugas pemerintah memberikan kesempatan kepada penduduk untuk memperoleh kesempatan kerja yang layak.
Ketiga kesinambungan pemerintah memberikan akses pemerataan kesempatan yang luas. Dan keempat pemberdayaan masyarakat diberikan kesempatan seluas-luasnya dalam meningkatkan kesejahteraan hidup keluarganya
“Semakin tinggi IPM maka pembacaannya pemerintah setempat akan lebih tinggi untuk empat indikator tersebut. Artinya kalau Semarang lebih tinggi maka Semarang lebih berhasil mendorong empat indikator tadi,” terangnya.
mengajar di jurusan Ekonomi Pembangunan ini.
Sebagai gambaran Rumayya mengambil perbandingan Sleman di urutan empat besar yang memiliki angka harapan hidup 74,77 dan angka akses pendidikan 16,72. Sementara Surabaya yang di urutan 12 memiliki angka harapan hidup 74,13 dan akses sekolah 14,79.
“Dengan pendapatan per kapita berjarak sekitar satu juta rupiah dengan Sleman, di Surabaya masih ada masyarakat yang tidak bisa mengakses pendidikan entah karena faktor kesadaran atau memang ekonomi,” terangnya. (ST01)