SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Wakil Gubernur Jawa Emil Elestianto Dardak memberikan pendapat terhadap Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Pemajuan kebudayaan di Gedung DPRD Jatim, Kamis (11/1). Pada kesempatan itu, Emil menyampaikan dukungan dan apresiasinya kepada DPRD Jatim yang menginisiasi pembentukan Raperda tersebut.
Dukungan ini kata Wagub Emil sangat penting. Mengingat, sejak terbitnya Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan hingga kini pada tahun 2024 atau berselang 7 tahun, Pemprov Jatim akhirnya membuat regulasi di tingkat daerah untuk melaksanakan program pemajuan kebudayaan.
“Kami mendukung Raperda ini untuk dilanjutkan pembahasannya. Karena memang Pemprov Jatim perlu hadir guna memfasilitasi apa yang diperlukan dalam rangka pemajuan kebudayaan Jawa Timur, yang tentunya berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan,” katanya.
Lebih lanjut ia menyebutkan, berdasarkan Rekapitulasi Pokok Pikiran Kebudayaan Daerah (PPKD) Kabupaten/Kota Tahun 2023, potensi Kebudayaan Jatim terbilang sangat besar. Setidaknya terdapat 7.341 Objek Pemajuan Kebudayaan (OPK). Terlebih lagi Tahun 2023, 99 OPK yang ada telah ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia (WBTbI) dan 185 OPK Cagar Budaya Peringkat Provinsi.
“Namun potensi yang ada ini belum didukung oleh regulasi di tingkat Pemprov Jatim. Sehingga saya berharap hadirnya raperda ini menjadi komitmen kita bersama dalam memajukan kebudayaan yang ada,” katanya.
“Karena keberagaman subkultur yang ada ini sebetulnya mengindikasikan banyaknya warisan budaya Jatim yang perlu ditelaah kondisinya untuk tujuan pelindungan, pengembangan, dan bahkan pemanfaatannya dalam sektor pendidikan, pariwisata, ekonomi kreatif, maupun di sektor lainnya untuk kemajuan Jatim,” tambahnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, dalam memajukan kebudayaan, pemerintah tidak dapat bergerak sendiri. Perlu adanya sinergitas dan kolaborasi bersama.
Hal ini dikarenakan pemajuan kebudayaan tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan merupakan aktivitas yang terkait satu sama lain dan melibatkan banyak stakeholder.
“Jika dulu disebut Pentahelix yang didalamnya ada pemerintah, media massa, masyarakat dan akademisi, maka saat ini juga perlu melibatkan Agregator atau disebut dengan Hexahelix yakni pemerintah, media massa, masyarakat dan akademisi serta aggregator/yang mengarah pada mediator yang menghubungkan antara pelaku dengan pasar/masyarakat,” terangnya. (ST02)





