SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Pemerintah menetapkan PPKM Darurat mulai 3-20 Juli.mendatang. Pemkot Surabaya juga sudah menindaklanjuti dengan membuat kebijakan pelaksanaan PPKM Darurat ini.
Namun dalam implementasi di lapangan, belum semua pihak melaksanakan aturan PPKM Darurat tersebut. Hal ini disampaikan anggota Komisi A DPRD Surabaya Arif Fathoni.
Ia mengungkapkan dirinya menerima banyak pengaduan dari karyawan yang bekerja di sektor non esensial. Pengaduan itu adalah karyawan masih diminta masuk kerja dan perusahaannya masih beroperasional.
“Karyawan diwajibkan bekerja di masa PPKM Darurat. Apabila tidak bekerja akan dikenakan sanksi tidak diberikan gaji maupun tunjangan lain,” kata Arif Fathoni.
Menurutnya, sikap dari.pengusaha yang mewajibkan karyawannya tetap masuk padahal bidang usahanya non esensial, tidak bisa dibenarkan. “Pelaku-pelaku usaha (non esensial) yang egois begini ini harus ditindak,” tegas dia.
Arif Fathoni menjelaskan saat ini tidak ada satupun warga negara yang diuntungkan dalam masa PPKM Darurat. Sedangkan kebijakan yang diambil dengan melakukan pembatasan adalah untuk melindungi dan menyelamatkan nyawa warga secara umum.
Ia pun meminta para pengusaha menaati kebijakan pemerintah. “Toh PPKM Darurat ini hanya berlangsung sampai 20 Juli 2021,” terangnya.
Toni, demikian Arif Fathoni akrab disapa, melanjutkan bahwa upaya pemerintah pusat dan pemerintah kota perlu didukung. Apalagi kini juga sedang digencarkan vaksinasi.
“Ini menurut saya, kita harus maklumi kebijakan pengetatan ini (PPKM Darurat) demi untuk kepentingan jangka panjang bagi bangsa,” ujarnya.
Namun Toni berpesan kepada aparat penegak perda untuk tetap melaksanakan penegakan kebijakan POKM Darurat dengan humanis. Ia tidak ingin penindakan yang bersifat otoriter atau represif.
“Karena hari ini kita harus memahami bahwa masyarakat sudah jenuh, dan kita dihadapkan dengan dua pilihan,” tuturnya.
Menurut mantan jurnalis ini, bertahan di rumah tanpa penghasilan yang tidak bekerja di sektor formal seperti pekerja harian dan lain sebagainya adalah pilihan sulit. Sedangkan bagi yang bekerja pun juga dihadapkan kemungkinan tertular Covid-19.
“Agar resistensi dan potensi disharmonisasi antar masyarakat dengan penegak perda itu tidak terjadi,” tandasnya.
Sementara itu terkait sektor non esensial yang tetap mewajibkan karyawannya bekerja, ia berharap ada sanksi. Menurut dia, hal itu bisa berpontensi menimbulkan klaster covid-19.
“Izin usaha dan operasionalnya ya harus dicabut, misalnya seperti itu,” tegas dia.
Tetapi di sisi lain, dia juga berharap agar aparat penegak perda bisa lebih humanis dengan proses penyekatan dan penindakan warung kopi bisa. Karena warung kopi bekerja untuk menghidupkan diri sendiri dan keluarganya.
“Berbeda dengan perseroan atau perusahaan lain yang bisa berpotensi menimbulkan klaster covid-19,” kata Thoni. Untuk itu, Toni berharap agar pemerintah kota lebih banyak melakukan operasi di gedung perkantoran, perusahaan di sektor non esensial yang masih beroperasi. (ADV-ST01)





