Surabayatoday.id, Surabaya – Menjadi Wakil Ketua DPRD Surabaya, AH Thony tak melupakan kepeduliannya terhadap budaya, tradisi, dan kearifan lokal. Salah satunya tentang senjata zaman keris.
Meski kota metropolitan, di Surabaya ini ternyata ada perajin keris. AH Thony pun mendatangi dan berdiskusi dengan perajin yang sekaligus pedagang keris di kawasan sekitar Pasar Turi baru.
Politisi Partai Gerindra ini mengatakan keris merupakan aset budaya bangsa. Keberadaan perajin keris di Surabaya harus lebih diapresiasi.
“Kebanyakan keris didatangkan dari Jawa Tengah. Padahal, di Surabaya juga ada perajinnya. Mereka ini luput dari sorotan dan perhatian. Jika terus dibiarkan, keris buatan asli Surabaya akan turut lenyap,” ungkapnya.
Saat datang itu, beberapa pedagang meletakkan alat pande di depan kios mereka. Tujuannya agar pembeli bisa melihat langsung proses pembuatan keris.
Bersama Ketua Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT) Taufik Hidayat alias Taufik Monyong, AH Thony menjelaskan Kota Surabaya membutuhkan regulasi atau Perda Kebudayaan yang mampu mengangkat produk budaya lokal ini. Dikatakan, ia mendapati bahwa para perajin keris tersebut berjuang tanpa bantuan pihak lain.
“Padahal, mereka semua mengharapkan perhatian dari pemerintah,” ujarnya.
Thony menegaskan bahwa Pemkot Surabaya harus ada dan mendampingi agar perajin bisa bangkit. Hal itu sekaligus usaha untuk melestarikan budaya lokal.
Menurutnya, banyak cara yang bisa dilakukan, seperti penyediaan tempat atau workshop yang lebih layak. Sehingga pembeli bisa lebih mudah untuk melihat produk-produk tersebut.
“Ini bisa dikaitkan dengan area Hi-Tech Mall. Jika area tersebut direvitalisasi dan dijadikan sentra kebudayaan, maka perajin keris juga bisa dipindahkan ke sana,” ujarnya.
AH Thony menegaskan akan memperjuangkan Perda Kebudayaan. Bertumpu pada Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan, AH Thony bertekad bahwa DPRD Kota Surabaya bakal mengeluarkan perda serupa.
“Harus segera ada meeting besar bersama Pemkot Surabaya dan perajin. Jika sudah ada perda, maka keberadaan perajin ini bisa terlindungi,” jabar dia.
Ia juga mengusulkan untuk meningkatkan kemampuan perajin keris, Pemkot Surabaya juga perlu melakukan pelatihan tentang produksi, manajemen usaha, hingga pemasaran. Bahkan, bantuan berupa teknologi untuk proses produksi juga diperlukan agar pembuatan keris lebih mudah.
Sementara itu, Empu Handy, salah satu pembuat keris mengatakan, selama ini pihaknya berusaha mempertahankan warisan leluhur. Dalam memproduksi keris mereka harus berjuang sendiri.
Meskipun kiosnya sepi pembeli, dia terus bertahan. “Bahkan, dalam waktu setahun pun belum tentu laku satu keris pun,” ujarnya.
Empu Handy menjelaskan, keris yang ia jual harganya bervariasi. Mulai dari Rp 150 ribu hingga puluhan juta. “Kami berusaha terus bertahan meski kondisi tidak memungkinkan. Sebab, satu hal yang selalu kami pegang, yakni amanat keluarga untuk terus melestarikan warisan budaya,” ungkapnya.
Hal itu berbeda dengan kondisi sebelum kebakaran. Dahulu, peminat datang dari berbagai wilayah. Bahkan, acapkali para pedagang mengekspor ke luar negeri untuk memenuhi permintaan konsumen. Namun, setelah kebakaran dan kepindahan kios, pedagang tak lagi diuntungkan. Bahkan, dari 50 orang, kini hanya bertahan beberapa pedagang. (ST01)