SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Baru-baru ini muncul kasus kekerasan seksual pada anak di sebuah rumah yang disinyalir sebagai panti asuhan. Merespons hal tersebut, Komisi D DPRD Surabaya segera melaksanakan rapat dengar pendapat dengan beberapa pihak terkait, Kamis (6/2).
Komisi yang membidangi pendidikan dan kesehatan ini meminta Pemkot Surabaya meningkatkan kewaspadaannya. Ketua Komisi D DPRD Kota Surabaya, Akmarawita Kadir menyatakan pentingnya peran RT, RW, kelurahan dan kecamatan dalam penanganan masalah yang seperti itu.
Menurutnya, aturan hukum tentang kekerasan seksual sudah ada, baik itu berupa undang-undang, peraturan daerah (Perda) sampai peraturan wali kota (Perwali). “Sudah ada perwalinya, tinggal bagaimana sistemnya agar bisa diterapkan oleh camat, lurah, RW, dan RT,” ujar Akmarawita.
Sedangkan Wakil Ketua Komisi D DPRD Surabaya Lutfiyah, menegaskan keprihatinannya terhadap kejadian kekerasan seksual itu. Apalagi, ia menyebut bahwa Surabaya ini memiliki predikat Kota Layak Anak (KLA).
“Ini sangat mengejutkan karena Surabaya sudah mendapatkan predikat Kota Layak Anak. Kami sangat prihatin atas kejadian ini,” ujarnya.
Politisi perempuan ini menegaskan sebagai kota layak anak, Surabaya harus benar-benar mampu menjaga dan memberikan perlindungan sebagaimana mestinya. Karena itu, Pemkot Surabaya memiliki peran penting dalam pengawasan.
Salah satunya dnegan memberikan pembinaan secara langsung dengan cara kunjungan rutin ke seluruh Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA), termasuk panti asuhan. “Memberikan konsultasi kepada para anak penghuni LKSA, diajak bicara, apakah ada masalah atau tidak. Sehingga jika ada apa-apa bisa dideteksi lebih dini,” jelasnya.
Anggota Komisi D DPRD Surabaya, Imam Syafi’i menegaskan bahwa kejadian ini tidak boleh terulang, karena Surabaya menyandang KLA. Ia menyoroti lemahnya pengawasan terhadap rumah-rumah penampungan anak, baik yang berizin maupun tidak.
Imam menilai ada celah besar yang memungkinkan kasus ini luput dari perhatian aparat. “Yang melapor adalah istri pelaku. Kalau tidak ada laporan dari istri, kasusnya mungkin tidak akan terungkap. Ini menunjukkan lemahnya deteksi dini di tingkat masyarakat dan aparat,” ungkapnya.
Ia menegaskan bahwa berbagai regulasi, termasuk Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan Perwali memungkinkan akses bagi instansi terkait untuk melakukan pengawasan. “Satpol PP selama ini razia yustisi hanya fokus di terminal dan stasiun untuk mendata pendatang. Tapi bagaimana dengan mereka yang tinggal di perkampungan tanpa terdeteksi? Seharusnya pengawasan lebih ketat,” ujarnya.
Sebagai langkah pencegahan, ia mengusulkan agar Pemkot Surabaya memasang hotline di sekitar panti-panti asuhan dan asrama. “Harus ada hotline eksklusif di tempat-tempat seperti itu. Sehingga, jika ada masalah, penghuni bisa langsung melapor tanpa takut,” pungkasnya.
Kepala Dinas Sosial (Dinsos) Surabaya Anna Fajriatin dalam kesempatan yang sama, menjelaskan pihaknya telah memberikan pendampingan kepada korban. Namun ia menerangkan bahwa lokasi kekerasan seksual tersebut bukan panti asuhan, tetapi statusnya pernah menjadi tempat klinik bersalin yang izinnya telah dicabut.
“Itu lebih ke tempat tinggal biasa karena dihuni oleh istri dan anak-anaknya, tidak ada aktifitas layaknya panti asuhan. Hanya membantu pembiayaan hidup anak-anak titipan,” jelasnya. (ADV-ST01)
 
			




 
							 
							 
							