SURABAYATODAY.ID, BOJONEGORO – DPRD Kabupaten Bojonegoro menggelar rapat Pansus II di ruang Komisi B. Rapat ini membahas tentang Raperda Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Bojonegoro tahun 2025-2045.
Wakil Ketua Pansus II Sigit Kushariyanto menyampaikan, bahwa rancangan akhir RPJPD Kabupaten Bojonegoro tahun 2025 – 2045 merujuk atas rumusan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) dengan visi Indonesia Emas 2045 Negara Nusantara Berdaulat Maju dan Berkelanjutan. “Karena kita sepakat tahun 2045, bebas dari kemiskinan dan keterpurukan ekonomi, bebas dari ketertinggalan dan lain sebagainya,” ungkapnya.
Menyoal sektor pertanian, Sigit mengaku masih ada intervensi dari pemerintah pusat. Tinggal bagaimana kemampuan daerah mengendalikannya, sarana sudah ada, seperti beberapa waduk yang menjadi potensi sumber air untuk mendukung pertanian di Bojonegoro.
“Tergantung dari tata kelola air ini, karena dari hulu sampai hilir ada kewenangan kewenangan yang berbeda lintas sektoral,” jelasnya.
Ia menginginkan, terkait pembelanjaan uang daerah Kabupaten Bojonegoro orientasinya harus produktif, produktif tidak hanya untuk urusan membangun infrastruktur, menabung itu juga kategori produktif, manakala ada kontribusinya yang cukup signifikan. Sigit menyayangkan kenapa dalam draf RPJPD tidak ada yang menyinggung terhadap investasi dalam bentuk tanah.
“Di Bojonegoro ini masih memungkinkan investasi berbentuk tanah, karena harga semakin tahun semakin meningkat, atau mungkin digunakan untuk infrastruktur sarana prasarana yang mendukung. Misalnya, salah satunya di sektor pariwisata. Saya rasa ada gunanya dalam jangka panjang,” ucapnya.
Kemudian sarana prasarana di bidang pendidikan, menurutnya juga masih rendah. Shingga kualitas pendidikan dan kesehatan di Bojonegoro belum bisa dikatakan bagus.
“Ini karena apa, lebih pada investasi di bidang pendidikan dan kesehatan yang mungkin masih sangat dibutuhkan,” tuturnya.
Sementara, Ketua Pansus II Sally Atyasasmi mempertanyakan pendapatan masyarakat, dampak ekonomi yang ditimbulkan dengan adanya tata niaga di pertanian, dan sejauh mana peternakan sudah mempengaruhi pendapatan ekonomi masyarakat. Hal ini untuk menggantikan pendapatan sektor Migas.
“Saat ini di pertanian, peternakan belum menjadi sektor unggulan. Kalau berbicara tentang agro industri akan menjadi pengganti Migas dalam 20 tahun mendatang, ini yang harus dipersiapkan menuju ke sana,” ungkapnya.
Ia menambahkan jika Bojonegoro mau mandiri harus ada solusi. Misalnya di industri pertanian. Jika suatu saat tidak ada pupuk subsidi, maka harus ada solusinya. Entah menggunakan pupuk kandang atau pupuk kompos yang pabriknya berdiri di Bojonegoro. (ST10)





