SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Wali Kota Surabaya Eri Cahyadi menerima kunjungan Staf Ahli Bidang Pembangunan Berkelanjutan, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Republik Indonesia (Kemenko PMK) Agus Suprapto dan Perencana Ahli Utama, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Soebandi Sarjoko. Mereka diterima di ruang sidang wali kota, Selasa (17/10).
Dalam kesempatan itu, Wali Kota Eri memaparkan berbagai upaya penanganan stunting di Kota Surabaya selama empat tahun terakhir. Dikatakan, Pemkot Surabaya telah berjibaku menggempur stunting dengan berbagai cara, mulai pemberian gizi pada balita, memberikan penyuluhan pra nikah kepada calon pengantin (catin), pemberian obat tambah darah pada remaja perempuan, open defecation free (ODF) atau bebas dari Buang Air Besar Sembarangan (BABS), dan sebagainya.
Diterangkan, mengatasi stunting harus dimulai dari hulu ke hilir agar cepat terselesaikan. Salah satunya adalah mencegah terjadinya pernikahan dini. Hal itu dilakukan bukan hanya untuk mencegah stunting, tetapi juga bagian dari menyiapkan generasi emas di 2045.
“Untuk menerapkan larangan menikah dini, harus ada keberanian dari pemkot bersama Kemenag Kota Surabaya dan Pengadilan Agama (PA) Kota Surabaya. Dengan begitu, akan menjadi kekuatan besar untuk menghilangkan risiko-risiko,” jelasnya.
Sebelumnya, Eri juga melakukan penandatanganan MoU/Nota kesepakatan antara Pemkot Surabaya, Pengadilan Agama Surabaya, dan Kantor Kementerian Agama Kota Surabaya dalam upaya pencegahan perkawinan anak di bawah umur di Kota Pahlawan pada (22/9) lalu.
Dengan MoU tersebut, diyakini permasalahan pernikahan dini akan tuntas di tahun 2024 dan tercapai zero pernikahan dini. Dia menerangkan, pencegahan ini dimulai dari tingkat kelurahan. Bila ada yang ingin menikah namun masih di bawah umur, kelurahan tidak akan memberikan surat keterangan belum menikah (N1) kepada pasangan yang usianya belum ideal. Dalam MoU tersebut juga mengatur kewajiban seorang suami dalam memberikan nafkah kepada anaknya, meskipun telah berpisah dengan istrinya.
Bukan hanya itu, lanjut dia, bahkan pemkot juga memperketat aturan pindah kependudukan dari luar kota masuk ke dalam Kota Surabaya. Hal itu dilakukan untuk mencegah terjadinya peningkatan warga miskin dan pra miskin, serta mencegah penyaluran intervensi dari pemerintah tidak tepat sasaran.
“Ada yang punya KK Surabaya tapi domisilinya di luar Surabaya, mereka nggak mau pindah karena di sini mendapatkan intervensi. Bahkan, ada yang punya KK dan domisilinya Surabaya, tapi alamat tinggal nggak sesuai dan dia pindah nggak laporan, nah ini membuat negara kacau,” ungkapnya. (ST01)





