SURABAYATODAY.ID, SURABAYA –Memperingati Hari Ibu tanggal 22 Desember, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mendorong pemberdayaan perempuan khususnya di empat sektor utama kehidupan. Ia mendorong perempuan lebih berperan dalam kepemimpinan, akses pendidikan, ekonomi dan upaya pencegahan pernikahan dini yang hingga sekarang masih menjadi isu sosial di masyarakat.
Menurutnya hal ini sesuai dengan tema Hari Ibu yaitu Perempuan Berdaya, Indonesia Maju. “Memperingati Hari Ibu, selain merayakan capaian dan jasa yang telah dilakukan seluruh ibu di Indonesia, kita juga harus fokus memberdayakan perempuan. Jika perempuan sudah berdaya, maka kemajuan Indonesia adalah sebuah keniscayaan,” ujarnya di Gedung negata Grahadi, Kamis (22/12).
Terkait kepemimpinan, menurut Khofifah, ini penting mengingat masih minim jumlah wanita di tampuk kekuasaan. Pasalnya, berdasarkan data dari KPU pada 2019, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif baru 20,8 persen. Selain itu, saat ini posisi menteri yang dijabat oleh perempuan hanya berjumlah lima dari total 34 menteri yang ada.
“Bahkan, cuma 6 persen CEO dan kursi direksi di Indonesia yang diisi oleh perempuan. Ini bisa di dorong agar ke depan lebih meningkat lagi, karena sudah banyak penelitian yang membuktikan kalau kepemimpinan perempuan bisa membawa dampak positif pada instansi dan iklim kerja di lapangan,” terangnya.
Selanjutnya dalam hal pendidikan, gubernur perempuan pertama Jatim itu menekankan bahwa masih ada anak bangsa yang kesulitan mengaksesnya. Terutama bagi mereka yang tinggal di daerah terpencil.
“Alhamdulillah sekarang negara dan dunia sudah sepakat bahwa pendidikan itu hak setiap orang. Tapi suka tidak suka, budaya patriarkat masih cukup kuat,” tutur dia.
“Ini biasanya sangat terasa di daerah dan banyak keluarga lebih mengutamakan pendidikan untuk anak laki-laki. Maka intervensi pemerintah dalam hal ini harus sampai wilayah lebih luas agar kesetaraan perlakuan dan kesempatan lebih luas lagi” tambah Khofifah.
Sedangkan untuk sektor ekonomi , mantan Menteri Sosial RI itu menyebut, kesenjangan antara laki-laki dan perempuan di sektor masih sangat terasa. Ketika terjadi ketimpangan ekonomi maka potensial terjadi diskriminasi dan sub ordinasi.
“Kultur pekerjaan juga seringkali mempersulit perempuan. Masih ada perusahaan yang tidak menerima perempuan yang sudah menikah. Alasannya klasik. Karena kalau perempuan sudah menikah, biasanya akan ada cuti hamil atau melahirkan yang harus diberikan. Belum lagi cuti untuk mengurus anak,” pungkasnya.(ST02)