SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Pembahasan di Pansus Raperda Penyelenggaraan Perpustakaan memasuki babak baru. Dalam pembahasannya, Rabu (25/8), pansus mengundang dua pakar literasi. Yakni pemerhati literasi, psikolog sekaligus penulis 70 an buku, Sinta Yudisia Wisudanti. Selain itu Edy Suprayitno, selaku praktisi dan kepala perpustakaan ITS.
Dua pakar ini dihadirkan untuk mengkritisi draf raperda. Mereka juga sekaligus memberikan masukan, ide, gagasan termasuk motivasi agar raperda ini betul-betul menjadi solusi terhadap keluhan makin menurunnya minat baca masyarakat dan stigma negatif terhadap perpustakaan serta tantangan dunia digital yang semakin berkembang.
“Semoga ada banyak masukan yang bisa mempertajam pembahasan pasal per pasal nantinya bersama Bagian Hukum dan Dinas Arsip dan Perputakaan,” kata Sekretaris Pansus Fatkur Rohman.
Sinta Yudisia Wisudanti, juga merupakan Founder Ruang PELITA (Pendampingan Psikologi dan Literasi). Ia mengawali paparannya dengan menunjukkan hasil sebuah polling dan menemukan fakta bahwa secara umum publik masih suka datang ke perpustakaan.
“Namun ada pergeseran prilaku publik yang membuat mereka memiliki harapan baru dan berbeda terhadap perpustakaan,” katanya.
Diungkapkan, di benak publik, ada harapan bahwa perpustakaan tidak hanya menjadi tempat membaca buku atau mencari informasi, tapi juga menjadi tempat kumpul, rekreasi bahkan ekspresi. Sehingga perpustakaan itu perlu make over, tempatnya pun bisa direbranding.
“Misalnya, menjadi studio baca, kafe buku, one stop learning atau sekadar diubah menjadi perpustak@an. Ada penambahan @ dipapan namanya,” terang Sinta.
Ia menambahkan bahwa stigma perpustakaan di mana pustakawannya serius, tidak boleh bicara, banyak tumpukan buku tua harus diberikan solusi. Perpusatkaan harus user friendly sebagaimana sudah berkembang di luar negeri seperti di negara Korea atau Finlandia.
Yakni, pengunjung boleh ngemil, duduk santai bahkan ada kafe di area perpustakaan, sarana prasarana juga berbasis teknologi IT. “Ada banyak event menarik seperti peluncuran buku, musik, bedah film termasuk banyak friendly space yang disukai anak muda,” lanjutnya.


Berkesempatan menjadi narasumber kedua, Edy Suprayitno menunjukkan hasil sensus penduduk tahun 2020 yang menunjukkan bahwa 50,83 persen penduduk Surabaya adalah kategori Gen Z dan millineal. Salah satu ciri dari generasi ini adalah penggunakan smartphone dalam kehidupan mereka, 15,4 jam/pekan untuk Gen Z dan 14,8 jam/pekan untuk millineal.
“Menurut saya, kebijakan ke depan harus menuju digitalisasi perpustakaan dan betul-betul memanfaatkan Teknologi IT dalam pelayanannya,” katanya.
Untuk melakukan hal itu, dibutuhkan SDM pustakawan yang bisa berperan sebagai content creator, bisa menghidupkan digital culture dan memiliki kemampuan communication skill yang bagus.
“Bukan mereka yang butuh kita, tapi kita yang butuh user”, ungkap Edy.
Masih menurutnya, layanan perpustakaan masa kini tidak dapat mengandalkan layanan klasik, namun harus berinovasi agar bisa dikunjungi secara fisik maupun maya. Ketersediaan akses wifi yang kuat, support hardware komputer canggih, layanan self service dalam peminjaman dan pengembalian, fasilitas untuk penyandang disabilitas, tersedianya ruangan yang disesuaikan dengan kondisi masyarakat serta layanan konsultasi offline dan online, sekarang ini sudah menjadi kebutuhan.
“Jika kita lihat di perpustakaan yang bagus di luar negeri atau di beberapa kampus seperti UI atau ITS, ada ruangan khusus diskusi. Ada co-working space, ada ruangan untuk tempat praktek atau ekspresi bagi pengunjung, bahkan jika diperlukan ada interior khusus yang didesain menarik yang membuat orang suka untuk berkunjung dan Surabaya. Saya pikir sudah waktunya memiliki perpustakaan seperti itu,” pungkas Edy.
Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan kota Surabaya, Musdig Ali Suyudi, sangat senang mendampatkan banyak masukan dari dua narasumber. Ia berharap ini akan bisa di follow up di pembahasan pasal per pasal raperda.
“Saya sepakat apa yang disampaikan oleh Bu Sinta maupun Pak Edy. Sebagian ide sebenarnya sudah kita jalankan dan sebagian yang belum nanti bisa menjadi masukan di raperda,” ungkapnya.
“Kita juga sudah pernah merumuskan bersama seorang doktor dibidang arsitek, bagaimana konstruksi dan desain khusus untuk perpustakaan, kita juga ada program gobuk, program antar buku ke warga, betul, perpustakaan masa kini harus user friendly dan support digital,” tambah Musdiq. (ST01)





