SURABAYATODAY.ID, SURABAYA – Di kawasan DAS Rejoso di Kabupaten Pasuruan melimpah persediaan air tanah. Makanya di tempat tersebut, banyak warga membuat sumur bor (artesis) untuk irigasi pertanian.
Dengan kedalaman antara 60 sampai 90 meter, air sudah keluar tanpa pompa. Ini karena adanya tekanan positif dari akuifer bawah tanah.
Namun belum adanya aturan yang jelas terkait jumlah maupun jarak sumur bor pemanfaatan air tanah menjadi tidak tepat. Sebab air terus mengalir dan terbuang.
Country Coordinator World Agroforestry (ICRAF) Indonesia Dr. Sonya Dewi menuturkan saat ini kondisi sumur bor yang ada di masyarakat sebagian besar tanpa kran. “Sehingga air mengalir selama 24 jam tanpa henti,” ungkapnya, Jumat (19/3).
Hal ini disampaikan dalam kegiatan bincang media dengan topik Bijak Memakai Air Tanah Melalui Konstruksi dan Pengelolaan Sumur Bor yang Tepat. Kegiatan ini dilaksanakan secara daring.
Ia juga mengungkapkan umumnya sumur bor dibuat dengan konstruksi pipa menggantung (tidak sampai pada dasar sumber air). Ditambah dinding sumur bor tanpa pelindung kerap menyebabkan dinding sumur mudah runtuh dan menyumbat aliran air. Makanya sumur tidak berumur panjang.
“Biasanya cuma dua sampai tiga tahun saja, karena debit sumur artesis mengecil atau bahkan berhenti mengeluarkan air, masyarakat kemudian membangun sumur baru untuk memenuhi air,” lanjut Lisa Tanika, Program Officer Kegiatan Percontohan Sumur Bor World Agroforestry (ICRAF) Indonesia.
Lisa Tanika mengambarkan, misalkan satu sumur bor mempunyai debit 5 liter/detik, maka selama 3 bulan musim hujan air sumur bor dibiarkan mengalir, maka dalam setahun kisaran 39,7 juta liter air. Jumlah inilah yang berpotensi terbuang percuma dari setiap sumur bor.
“Ini sama artinya ada dua juta galon air kapasitas 19 liter yang setiap tahun bakal terbuang dan tak bisa dimanfaatkan,” ujarnya.
Padahal, lanjut dia, ini hanya dari satu sumur bor. Sedangkan dari data yang dihimpunnya, sampai akhir tahun 2019 saja terdapat setidaknya lebih dari 600 sumur bor yang sudah dibangun oleh masyarakat.
“Bisa dihitung sendiri berapa air tanah yang terbuang sia-sia,” jelas Lisa Tanika.
Narasumber yang lain, Koordinator Gerakan Rejoso Kita, Dr. Ni’matul Khasanah mengatakan, penelitian yang dilakukan antara 2015-2019 menyebutkan 600 sumur bor tersebut tersebar di enam kecamatan di hilir DAS Rejoso (Alex Toulier, Universitas Montpellier, 2019). Jumlah sumur bor terbanyak dijumpai di Kecamatan Gondang Wetan dan Winongan. Diskusi kelompok terfokus bersama masyarakat yang dilakukan oleh World Agroforestry (ICRAF) pada akhir tahun 2019 memastikan bahwa jumlah sumur bor saat ini telah bertambah.
Dikatakan, DAS Rejoso yang didominasi oleh hortikultura dan hutan di bagian hulu, agroforestri di bagian tengah, dan persawahan di bagian hilir DAS terus mendapatkan tekanan dari kegiatan antropogenik sebagai akibat dari meningkatnya pertumbuhan jumlah penduduk. Hal ini juga merupakan desakan kebutuhan ekonomi serta rendahnya kesadaran lingkungan.
“DAS Rejoso dengan mata air Umbulan, memainkan peran dan fungsi strategis sebagai penyedia air bersih, tidak hanya bagi Kabupaten Pasuruan, namun juga bagi wilayah sekitarnya, seperti Kabupaten Sidoarjo, Kota Surabaya, dan Kabupaten Gresik,” jelasnya.
Karena itu, pihak ICRAF berusaha melakukan perubahan. Melalui Gerakan Rejoso Kita, menurut Ni’matul Khasanah, pihaknya lebih kepada upaya menutup sumur bor lama milik masyarakat lalu menggantinya dengan sumur bor baru dengan konstruksi yang tepat.
“Jika ada dua sumur bor yang berdekatan, itu kami tawarkan untuk ditutup dan diganti dengan sumur bor baru dengan konstruksi yang tepat agar sumur bor dapat dimanfaatkan dalam waktu yang lebih lama,” terangnya. (ST01)