Surabayatoday.id, Surabaya – Perum Jasa Tirta (PJT) I bersama Jaring-jaring Komunikasi Pemantauan Kualitas Air (JKPKA) dan Universitas Negeri Malang (UM) menggelar temu ilmiah secara online atau daring, Selasa (15/12). Kegiatan ini merupakan rangkaian dari program berkelanjutan berupa pendidikan lingkungan bagi para siswa SMA dan SMP di wilayah kerja PJT I.
Temu ilmiah merupakan yang ke-23 dan mengangkat tema Konservasi Partisipatif untuk Meningkatkan Ecoliterasi Siswa. Orasi ilmiah berjudul Memanen Air Hujan disampaikan oleh Ketua UM Green Campus, Dr. Vivi Novianti M.Si.
Ia menjelaskan, Indonesia menyimpan cadangan air dunia sebanyak 6 persen. Namun ia menyebut Pulau Jawa sebagai pulau terpadat penduduknya diramalkan akan menghadapi ancaman krisis air di tahun 2040.
Menurutnya, Indonesia dengan iklim tropis memiliki kelebihan dalam hal ketersediaan air. “Curah Hujan rata-rata 2.500 mm per tahun,” katanya.
Namun jumlah air yang melimpah terkendala oleh banyaknya lahan seperti hutan yang beralih fungsi, sehingga tidak dapat menyerap air dalam tanah dan cenderung menjadi run off atau luapan air seperti banjir. Saat ini, ketersediaan air dan pemanfaatan untuk kebutuhan manusia di Indonesia cukup beragam.
Di Jawa, per orang memiliki ketersediaan air sebanyak 1.169 M³ per tahun, di Bali sebanyak 4.224 M³ per tahun, di Papua 296,84 M³ per tahun. Sedangkan di Sumatera 15.892 M³ per tahun dan Kalimantan menjadi yang terbanyak yakni 80.167 M³ per tahun atau sekitar 80 kali lipat ketersediaan air bagi perorangan di Jawa.
“Krisis air kini juga banyak terjadi di Pulau Jawa. Bahkan warga harus membeli air bersih dengan harga mahal yang seharusnya bisa diperoleh secara gratis dari alam,” terangnya.
“Untuk itu manajemen air hujan menjadi sangat penting untuk bisa dipelajari bersama untuk menjaga ketersediaan air di masa yang akan datang,” lanjutnya.
Direktur Utama PJT I, Raymond Valiant Ruritan mengapresiasi temu ilmiah yang digelar JKPKA. Ia memberikan pemahaman bahwa, air, lingkungan dan manusia adalah hal yang menyatu.
Ia juga mengutip kalimat Marilyn Ferguson, seorang visioner yang pada tahun 1995 menulis buku tentang The Aquarian Conspiracy. “Masa depan manusia ditentukan, bagaimana caranya mengatasi krisis. Saat itu yang dibahas adalah krisis lingkungan dan pemanasan global. Dan hari ini kita masih berhadapan dengan krisis tersebut. Saat ini juga ada krisis Covid-19 yang dampaknya sangat luas,” ungkapnya.
Karena pandemi, lanjut dia, temu ilmiah yang sebelumnya menjadi ajang pertemuan para guru dan pembina JKPKA dalam ruang fisik, kini hanya bisa bertatap muka lewat daring. Namun hal itu menurutnya, tak mengurangi makna dari pembelajaran bagi para guru dan siswa yang tergabung dalam JKPKA.
Ia pun menegaskan kalimat Marilyn Ferguson, bahwa krisis menjadi penentu apakah manusia menghadapi berbagai perubahan. “Saya percaya ecoliterasi menjadi salah satu jawaban bagi kita semua untuk menentukan masa depan,” tambahnya.
Koordinator Pusat JKPKA, Soetarno Said menegaskan komitmennya menjadikan JKPKA sebagai media pembelajaran bagi guru dan siswa dalam menjaga kelestarian air. Saat ini, JKPKA juga berkembang di enam wilayah di Indonesia. Wilayah tersebut adalah Wilayah Hulu, Tengah, Hilir DAS Kali Brantas, Hulu dan Tengah DAS Bengawan Solo serta Hulu DAS Asahan Kab. Toba Samosir Sumatera Utara. (ST04)