Surabayatoday.id, Banyuwangi – Tanggap terhadap problem yang terjadi di masyarakat, mahasiswa Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) memecahkannya dengan solusi yang adaptif. Di antaranya adalah terbentuknya tim Bumi Iboe, sebuah tim yang aktif mengelola Badan Usaha Milik Desa (BUMDes).
Kata Iboe sendiri berasal dari bahasa Belanda, Inheems Bedwelmend Omhoog Euwig yang berarti orang yang ingin maju dan bertekad teguh. Tim ini memberikan gagasan inovatif dalam pengolahan produk jeruk nipis di Desa Kalipait, Kota Banyuwangi.
Adhimas Nurul Mustofa, ketua tim Bumi Iboe menceritakan tim ini terbentuk saat mengikuti kompetisi ITS Young Technopreneur (IYT) dan proposalnya berhasil terdanai. Dalam proposal rancangan bisnisnya, mereka berencana untuk mengembangkan Desa Kalipait, sebuah desa yang merupakan pemangku Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi. Desa tersebut memiliki lahan pertanian yang luas, dengan komoditas utama berupa buah naga, jeruk siam, dan jeruk nipis.
Pada gagasan awal, Adhimas dan tim, Desa Kalipait dirancang sebagai koordinator pertanian. Dalam rancangan ini, hasil pertanian dari desa tersebut akan dijual ke BUMDes dan selanjutnya dipasarkan ke luar. Tetapi, pihak desa hanya menyetujui sistem tersebut untuk hasil pertanian jeruk nipis karena komoditas ini seringkali terbuang sia-sia.
“Potensi ini kami sesuaikan, sehingga tercetus ide membuat desain produk hasil olahan jeruk nipis yang disetujui oleh pihak desa,” ujar mahasiswa Departemen Kimia ITS ini.
Dari ide tersebut, saat ini tim yang berdiri sejak 5 Juli 2020 ini telah melahirkan resep olahan dan produk jadinya. Desain produk tersebut dirancang oleh tim Bumi Iboe dengan melakukan riset mengenai anjuran pembuatan minuman yang diterbitkan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta Pusat Riset dan Kajian Obat dan Makanan (PRKOM).
“Kami juga melakukan studi dengan mendatangi unit-unit yang memproduksi olahan jeruk nipis dan sari buah lainnya sebagai tempat berdiskusi mengenai pembuatan produk,” terang Adhimas.
Ia lantas menuturkan, produk olahan jeruk nipis ini masih perlu penyesuaian kembali sehingga nantinya bisa dijual di masyarakat umum. Sebab berkaca dari pengalaman dalam proses risetnya, masih dijumpai perbedaan rasa antara hasil produk olahan yang satu dengan yang lainnya.
“Karena itu, kami masih terus melakukan quality control,” akunya.
Namun dalam rangka mengimplementasikan, tim bersama dengan beberapa mahasiswa ITS lainnya mengadakan pelatihan pembuatan produk olahan jeruk nipis, awal November lalu. Pelatihan ini mengajarkan mulai dari cara membuat produk olahan sari jeruk nipis, perhitungan harga jual, pengoptimalan produksi, pengemasan, hingga penentuan target pasar.
Ke depan, Adhimas berharap dirinya bersama tim dapat menjaga keberlanjutan dari program ini dan terus meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilakukannya meningkat kondisi pandemi yang membuat penghasilan masyarakat turun.
“Tak hanya itu, kami juga berharap penelitian yang telah banyak dilakukan di dunia kampus tak hanya berakhir pada terbitan jurnal atau terdiam di perpustakaan,” urainya.
Ia mencontohkan, misalnya dalam melihat jeruk nipis yang berpotensi untuk diekspor ke Pakistan ini. Akan tetapi, produk lokal kalah dengan produk Thailand yang tak berbiji dan banyak mengandung air.
Adhimas berpendapat, hal ini bisa diatasi dengan teknologi rekayasa pertanian tetapi belum diterapkan. “Sehingga ke depannya butuh lebih banyak penerapan teknologi tepat guna untuk diaplikasikan ke masyarakat,” pungkasnya. (ST05)