Surabayatoday.id, Surabaya – Pemkot Surabaya melalui Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan dan Tanah (DPBT), Kota Surabaya, Maria Theresia Ekawati Rahayu beberapa waktu lalu menyatakan terus berupaya menyelesaikan permasalahan Izin Pemakaian Tanah (IPT) atau biasa disebut surat ijo itu. Ia menegaskan pemkot patuh pada aturan yang berlaku agar tidak menjadi permasalahan hukum di kemudian hari.
Pernyataan tersebut mendapat tanggapan dari Komunitas Pejuang Surat Ijo Surabaya (KPSIS). KPSIS menyatakan secara umum tidak ada yang menyatakan Peraturan Daerah (perda) atau Peraturan Wali Kota (perwali) Surabaya telah melanggar hukum. Hal ini utamanya berkaitan dengan terbitnya peraturan-peraturan yang mengatur barang milik daerah sesuai undang-undang nomor 1 tahun 2004 dan peraturan pemerintah nomor 27 tahun 2014.
“Dengan demikian bahwa terbitnya Izin Pemakaian tanah (IPT) merupakan hal wajar sepanjang pembayaran retribusi sebagai ketentuan tersebut merupakan hak penuh yang dimiliki Pemkot Surabaya dalam rangka memiliki secara hakiki terhadap aset yang ada,” ujar Ketua KPSIS Harijono, Senin (2/11), seperti yang tertulis dalam pernyataan sikap KPSIS.
KPSIS pun memberikan tanggapan atas hal tersebut. Ada 12 poin yang disampaikan KPIS yang ditandatangani Ketua KPSIS Harijono dan Sekretaris KPSIS Rachmat Musa Budijanto ini. Di antaranya, sejarah atau riwayat tanah surat io tidak bisa dilepaskan begitu saja artas penguasaan sejak zaman Belanda berdasarkan agrarische wet Belanda.
Dikatakan Harijono, kondisi ini terjadi akibat kekosongan hukum dan pengaturan tanah akibat penyerahan kedaulatan Belanda dalam perjanjian Linggarjati. Dengan demikian hak sewa ini diberikan untuk menghindari kekosongan hukum dan kekacauan atas tanah dan memberikan kepastian hukum bagi penghuninya. Hal ini berlangsung hingga UUPA tahun 1960 yang mencabut semua hak Belanda dan mendeklar menjadi tanah negara dan tanah adat.
“Karenanya, pengaturan atas hak penguasaan secara fisik oleh masyarakat atas tanahnya dan harus dihormati, bukan dimanfaatkan dengan memberikan surat pernyataan yang tidak ada aturan yang mengatur ketika warga tidak memiliki surat kepemilikan tanahnya,” jabar dia.
Lebih lanjut diterangkan Pemkot Surabaya bukan pemilik tanah sehingga tidak dapat menyewakan. “Kondisi ini sangat berbeda saat tahun 1950 an Pemkot Surabaya masih memiliki tanah hak sewa yang masih menggunakan agrarische wet Belanda sebagaimana diatur dalam aturan peralihan UUD dan telah dicabut dengan UUPA,” tambahnya.
Di sisi lain, Pemkot Surabaya telah menerbitkan IPT yang dinilainya tanpa alas hak yang dilimpahkan. Sehingga dalam keputusan wali kota ketika menerbitkan IPT sebelum tahun 1997 disebutkan tanah negara hak pengelolaan KMS yang tidak ada nomor dan tanggalnya, dan itu ada di dalam surat pernyataan warga yang digunakan Pemkot Surabaya untuk memohon SK HPL di tahun 1997.
“Dalam hal ini termasuk dalam perbuatan melawan hukum dalam bidang administrasi,” katanya lagi.
Ia menegaskan KPSIS menginginkan ada cara yang persuasive ketika ada kritikan. Artinya, jika ada kritikan tidak harus dijawab dengan mengajukan gugatan secara hukum.
“Kami berharap buka kembali data-data kepemilikan pemkot. Hal itu akan mengembalikan citra pemkot terhadap warganya yang sudah terdampak selama bertahun-tahun,” tambahnya.
Bagi KPSIS, jika pemkot ingin membantu masyarakat dalam rangka penyelesaian IPT, pihaknya sepakat hal itu tidak boleh melanggar hukum agar tidak muncul masalah hukum di kemudian hari. “Untuk itu harus dibuka dulu data-data Pemkot Surabaya apakah perolehannya selama ini tidak melanggar hukum,” katanya kembali. (ST01)